Pengikut

Mengenai Saya

DKI Jakarta Terpadat, Jakut, tapi akhir-akhir ini Jakbar, Indonesia
sombong, sok, angkuh, nyolot, belagu, sifat dasar manusia yang amat teramat melekat di gue

Senin, 28 Maret 2016

KZL

Sudah berapa kali Saya merefleksikan diri bahwa amarah itu merugikan, sangat merugikan. Tumbler Starbucks Saya seharga Rp150.000 barusan saja menjadi korban atas absen-nya pikiran Saya dikarenakan terisi oleh amarah depresi sesaat. Sangat merugikan bukan?

Walaupun sebenarnya tumbler itu hadiah farewell dari kantor sebelumnya (so basically it's free).

Tapi marah juga menyebabkan emosional Saya terganggu, keseimbangan dengan alam jadi terasa berat sebelah. Rasanya alam selalu memberikan keburukan-keburukan kepada Saya, terlalu banyak keburukan sehingga rasanya lebih berat di keburukan daripada kebaikan. Akibatnya adalah Saya mengimbaskan kembali keberatan Saya kepada orang-orang di sekitar Saya karena Saya berpikir mereka seharusnya juga merasakan keburukan alam yang Saya rasakan, jadi itu baru seimbang.

Salah. Sangat salah.

Tapi sulit untuk memikirkan kebaikan-kebaikan yang diberikan alam ketika amarah sedang menguasai.

Yang Saya syukuri adalah Saya masih bisa meredam amarah Saya untuk diri Saya sendiri dan jarang sekali mengimbaskannya ke orang di sekitar Saya. Saya pun juga selalu mencoba untuk meredakan amarah Saya sesegera mungkin dengan mengabsenkan diri Saya dari dunia nyata.

Dan Saya sangat bangga dengan pencapaian itu.

Yasudahlah, Saya harus kembali lembur. Baru saja dikirimi e-mail untuk di-print.

Selasa, 22 Maret 2016

BERSEMBUNYI

Menunggu jam 10 malam dan kemudian meminta tolong si babang untuk menjemput Saya dari gedung, yang kata tukang Go-Jek, adalah gedung tertinggi di Kuningan ini.

Sambil menunggu, ada baiknya Saya memanfaatkan waktu kosong yang Saya miliki, serta akses wifi dengan pembatasan situs dimana-mana yang membelenggu kebebasan ini, dengan mengisi blog yang sudah lama terkubur dalam ingatan Saya.

Sebenarnya Saya hanya sedang ingin bersembunyi, dan melampiaskan rasa yang tak tertumpahkan saja, sih...

Saya menemukan bahwa media tulis menulis ini sangat membantu Saya dalam meredakan gejolak rasa tersingkirkan dari peradaban biadab manusia ini.

Tanpa ada unsur SARAP (Suku, Agama, Ras, Politik), Saya bebas menuangkan apa yang ada di dalam pikiran Saya dengan gaya senyaman yang Saya bisa tumpahkan dan dengan kalimat-kalimat ngotot yang salah, tanpa harus menghiraukan tanggapan-tanggapan negatif yang menjatuhkan dari para penghuni peradaban yang biadap ini.

Apa karena Saya sudah akan memasuki siklus bulanan?
Atau memang Saya yang tidak bisa menerima candaan seperti itu?
Ataukah memang Saya sendiri yang menyebalkan?

Ini butuh refleksi yang dalam tentunya.
Selama waktu yang dibutuhkan, Saya rasa diam adalah emas.


Oke, sekian.
Saya sudah diizinkan untuk pulang dan babang is on the way. 
Yaampun Saya lupa bawa helm.

Wait A Minute

Selalu sulit bagi Saya untuk memulai menulis sebuah entri di blog, terutama menemukan kalimat pembuka yang pas dan menarik untuk dibaca.

Saat ini, Saya sedang (masih) duduk di ruang rapat Jambi 1 sambil menunggu teman-teman yang lain selesai mengerjakan "sebentar lagi" - nya.

Kalau kita asumsikan waktu makan malam yang ideal adalah sekitar jam 7 kurang, maka sekarang ini sudah lewat 3600 detik dari kalimat "sebentar lagi" - nya teman-teman ini.


Kamis, 17 Maret 2016

LEMBUR

Saat ini, Saya sedang duduk di ruang rapat Jambi 1, bersama dengan 8 orang lainnya yang terbagi menjadi dua kubu: lima orang di Jambi 1, dan sisanya di Jambi 2.

Pukul 00.17 WIB

Masa - masa lembur yang baru pertama kali Saya rasakan selama dua tahun Saya menjadi auditor. Satu - satunya yang membuat Saya mau bertahan di gedung tertinggi di Kuningan ini sampai tengah malam ini adalah karena Saya mendapatkan uang makan yang tarifnya progressif setiap dua jam sekali dihitung dari pukul 21.00 WIB.

Inilah realita kehidupan di kota metropolitan yang diidam-idamkan para kawan di alam bebas di luar sana. Demi gaya hidup mereka bilang.