Pengikut

Mengenai Saya

DKI Jakarta Terpadat, Jakut, tapi akhir-akhir ini Jakbar, Indonesia
sombong, sok, angkuh, nyolot, belagu, sifat dasar manusia yang amat teramat melekat di gue

Jumat, 19 Agustus 2016

Siapa Nama-Mu?

Saya baru saja menonton sebuah film Bollywood berjudul "PK".

Biar Saya mengutip salah satu lirik lagu di film tersebut yang dinyanyikan sambil para pemainnya joget-joget di tengah jalan di Belgia naik sepeda kemudian naik perahu lalu sang pemain pria-nya menghilang nyebur ke sungai dan kemudian muncul basah-basahan mengagetkan sang pemain wanita-nya, masih sambil bernyanyi..

"Bisakah kau menanyakan namaku saja, tanpa harus bertanya darimana asalku?"
Ya terlepas dari adegan nyanyi-nyanyi yang heboh itu, Saya harus akui bahwa ini lagu ngena banget ke Saya pribadi.

Setelah meresapi nyanyian dan jogetan film itu, Saya kemudian berandai-andai, bisakah dalam hubungan romantis setiap manusia, yang ditanyakan itu hanya nama saja?
Saya tidak tahu ya bagaimana di belahan bumi lain. Tapi kalau dalam keseharian Saya sih, hal tersebut tidak bisa, dan tidak pernah terjadi.

Setiap perkenalan, jangankan perkenalan yang tujuannya untuk romantisme ya yang biasanya terjadi diantara lawan jenis, yang perkenalan tujuannya untuk berteman antar sesama jenis saja pun selalu akan ada yang berkata, 'lo suku xxxx ya?', 'lo agama xxxx ya?', 'oh lo turunan xxxx ya'?.

Seperti itu...

Untuk Saya pribadi, ketika Saya berkenalan dengan orang baru, Saya tidak pernah mempermasalahkan dari mana dia berasal, agama apa dia, suku apa dia. Saya jarang bertanya mengenai isu tersebut, kalau ada kenalan yang Saya tanyakan hal tersebut itu biasanya karena mereka memulai bertanya duluan, biasanya tanpa Saya harus bertanya pun juga Saya akan tahu dengan sendirinya mereka ini suku agama dan ras nya itu apa. Tapi setelah tahu pun, Saya tetap diam dan tidak berkomentar apapun karena Saya tahu bahwa di bumi ini, SARA itu adalah topik yang sensitif untuk dibicarakan. 

Lagipula Saya berkenalan dengan mereka bukanlah untuk membentuk klub rohani sekolah atau kampus, toh.

Tapi masalahnya, kadang orang yang berkenalan dengan Saya ini cenderung menanyakan hal yang sudah Saya contohkan di atas tersebut. Kadang Saya suka bertanya-tanya, memangnya kenapa harus bertanya hal semacam itu? Apakah kalau mau berteman dengan kalian Saya harus satu suku-agama-ras yang sama dengan kalian? Apakah kalian tidak mau berteman dengan yang berbeda dari kalian? Apakah kalian mau bikin klub kerohanian kampus atau sekolah? Apakah kalian sedang akan membaptis Saya masuk ke agama atau suku kalian?

Ketika Saya berkenalan dengan seseorang, biasanya untuk awal-awal Saya dan tentunya orang yang berkenalan dengan Saya itu masih belum mengetahui apa-apa tentang karakter lawan masing-masing. Biasanya kita perlu beberapa kali lagi pertemuan, berkumpul tertawa dan berdiskusi sampai akhirnya Saya mengetahui sedikit mengenai karakter orang tersebut, begitu pula dengan lawan bicara Saya tentunya. Namun demikian, untuk beberapa kasus tertentu, Saya dapat katakan bahwa Saya dapat langsung mengetahui sebagian besar karakter seseorang hanya dalam sekali kenalan saja.

Dewasa ini, orang-orang yang menyinggung isu suku-agama-ras sudah lebih jarang ditemukan dibandingkan ketika Saya masih sekolah dulu. Ini menunjukkan bahwa manusia-manusia sekarang ini sudah berpikiran lebih maju dan dewasa untuk tidak mempermasalahkan isu yang terlampau kuno tersebut (menurut opini Saya sendiri loh). Dan jika Saya kemudian berkenalan dengan orang yang dalam sekali pertemuannya ada menanyakan hal mengenai suku-agama-ras, maka tidaklah heran jika Saya katakan bahwa Saya akan langsung mengetahui sebagian besar karakter orang tersebut.

Mungkin saja ibu ini mau menjodohkan anaknya dengan Saya, jadi nanya bibit bebet bobot Saya...







Ketika dalam suatu percakapan, tersebutlah kalimat yang, baik secara langsung maupun tidak langsung, menyiratkan suku-agama-ras pribadi orang yang bersangkutan, maka  (mungkin saja) saat itu pulalah gebetan akan langsung berpaling ke yang lain.


Sekian,
Terima kasih.


Jumat, 22 Juli 2016

Minggu, 03 Juli 2016

"Infeksi Gigi Geraham Atas Ke Pipi" - Menurut Mesin Pencari si 'Mbah'

Biarkan Saya memulai pos ini dengan sebuah keyword yang dapat langsung diketik di mesin pencari si 'Mbah':
Infeksi Gigi Geraham Atas Ke Pipi


Yak. Dan beberapa judul artikel segera muncul untuk dapat dibaca, dari "Bila Infeksi Gigi Pindah Ke Pipi - Othervisions", "Infeksi Gigi Dapat Menyebabkan Sinusitis - Dokter Sehat" hingga "Kengerian Cabut Gigi Sepadan Dengan Manfaatnya - Alodokter"

Dari semua artikel yang muncul dengan judul-judul yang "menarik" itu, yang benar-benar langsung seketika itu juga menarik perhatian Saya adalah link artikel nomor tiga dari atas dengan judul: 
"Kematian Akibat Gigi Berlubang - Gigi Sehat Badan Sehat".


Hening sejenak. Saya terkena serangan jantung kecil.


Saya tentunya bukan dengan tanpa alasan mengetikkan keyword tersebut di si 'Mbah'. Pipi Saya saat ini sedang bengkak chubby sebelah setelah melakukan perawatan syaraf untuk geraham kanan atas Saya.

Tapi Saya tidak pernah berpikir sedalam itu sebelumnya, berpikir bahwa gigi Saya yang walaupun pernah-perawatan-syaraf-sebelumnya-dan-kemudian-patah-giginya-dan-kemudian-ditambal-dan-kemudian-patah-lagi-dan-akhirnya-dilakukan-perawatan-syaraf-ulang-yang-sakitnya-minta-ampun-dan-berujung-pada-pipi-bengkak-ini, akan menyebabkan is dead keadaan yang akan sangat fatal sekali untuk kehidupan Saya di masa depan.


Beneran deh, ini saking teknologi udah maju banget apa yak sampai-sampai banyak banget artikel-artikel yang berjudul "menarik" namun isinya itu cingcarumen kurang mengedukatifkan.


Sungguh Saya tambah khawatir dengan keadaan pipi Saya. Karena selain artikel yang sempat membuat Saya terkena serangan jantung kecil sesaat tadi itu, ada pula artikel lain, yang katanya berdasarkan pengalaman pribadi, bahwa kalau pipi bengkak karena infeksi gigi dibiarkan begitu saja sama seperti dia-yang-menulis-artikel-tersebut, yang membiarkan pipinya benjol selama delapan bulan, maka akan ada kemungkinan pasien bisa terkena kanker gusi.



Masya Allah, Gustiiiiii!!!



Saya rasa Saya akan mengurangi intensitas "Pencarian Dengan Mesin Pencari si 'Mbah'".

Senin, 28 Maret 2016

KZL

Sudah berapa kali Saya merefleksikan diri bahwa amarah itu merugikan, sangat merugikan. Tumbler Starbucks Saya seharga Rp150.000 barusan saja menjadi korban atas absen-nya pikiran Saya dikarenakan terisi oleh amarah depresi sesaat. Sangat merugikan bukan?

Walaupun sebenarnya tumbler itu hadiah farewell dari kantor sebelumnya (so basically it's free).

Tapi marah juga menyebabkan emosional Saya terganggu, keseimbangan dengan alam jadi terasa berat sebelah. Rasanya alam selalu memberikan keburukan-keburukan kepada Saya, terlalu banyak keburukan sehingga rasanya lebih berat di keburukan daripada kebaikan. Akibatnya adalah Saya mengimbaskan kembali keberatan Saya kepada orang-orang di sekitar Saya karena Saya berpikir mereka seharusnya juga merasakan keburukan alam yang Saya rasakan, jadi itu baru seimbang.

Salah. Sangat salah.

Tapi sulit untuk memikirkan kebaikan-kebaikan yang diberikan alam ketika amarah sedang menguasai.

Yang Saya syukuri adalah Saya masih bisa meredam amarah Saya untuk diri Saya sendiri dan jarang sekali mengimbaskannya ke orang di sekitar Saya. Saya pun juga selalu mencoba untuk meredakan amarah Saya sesegera mungkin dengan mengabsenkan diri Saya dari dunia nyata.

Dan Saya sangat bangga dengan pencapaian itu.

Yasudahlah, Saya harus kembali lembur. Baru saja dikirimi e-mail untuk di-print.

Selasa, 22 Maret 2016

BERSEMBUNYI

Menunggu jam 10 malam dan kemudian meminta tolong si babang untuk menjemput Saya dari gedung, yang kata tukang Go-Jek, adalah gedung tertinggi di Kuningan ini.

Sambil menunggu, ada baiknya Saya memanfaatkan waktu kosong yang Saya miliki, serta akses wifi dengan pembatasan situs dimana-mana yang membelenggu kebebasan ini, dengan mengisi blog yang sudah lama terkubur dalam ingatan Saya.

Sebenarnya Saya hanya sedang ingin bersembunyi, dan melampiaskan rasa yang tak tertumpahkan saja, sih...

Saya menemukan bahwa media tulis menulis ini sangat membantu Saya dalam meredakan gejolak rasa tersingkirkan dari peradaban biadab manusia ini.

Tanpa ada unsur SARAP (Suku, Agama, Ras, Politik), Saya bebas menuangkan apa yang ada di dalam pikiran Saya dengan gaya senyaman yang Saya bisa tumpahkan dan dengan kalimat-kalimat ngotot yang salah, tanpa harus menghiraukan tanggapan-tanggapan negatif yang menjatuhkan dari para penghuni peradaban yang biadap ini.

Apa karena Saya sudah akan memasuki siklus bulanan?
Atau memang Saya yang tidak bisa menerima candaan seperti itu?
Ataukah memang Saya sendiri yang menyebalkan?

Ini butuh refleksi yang dalam tentunya.
Selama waktu yang dibutuhkan, Saya rasa diam adalah emas.


Oke, sekian.
Saya sudah diizinkan untuk pulang dan babang is on the way. 
Yaampun Saya lupa bawa helm.

Wait A Minute

Selalu sulit bagi Saya untuk memulai menulis sebuah entri di blog, terutama menemukan kalimat pembuka yang pas dan menarik untuk dibaca.

Saat ini, Saya sedang (masih) duduk di ruang rapat Jambi 1 sambil menunggu teman-teman yang lain selesai mengerjakan "sebentar lagi" - nya.

Kalau kita asumsikan waktu makan malam yang ideal adalah sekitar jam 7 kurang, maka sekarang ini sudah lewat 3600 detik dari kalimat "sebentar lagi" - nya teman-teman ini.


Kamis, 17 Maret 2016

LEMBUR

Saat ini, Saya sedang duduk di ruang rapat Jambi 1, bersama dengan 8 orang lainnya yang terbagi menjadi dua kubu: lima orang di Jambi 1, dan sisanya di Jambi 2.

Pukul 00.17 WIB

Masa - masa lembur yang baru pertama kali Saya rasakan selama dua tahun Saya menjadi auditor. Satu - satunya yang membuat Saya mau bertahan di gedung tertinggi di Kuningan ini sampai tengah malam ini adalah karena Saya mendapatkan uang makan yang tarifnya progressif setiap dua jam sekali dihitung dari pukul 21.00 WIB.

Inilah realita kehidupan di kota metropolitan yang diidam-idamkan para kawan di alam bebas di luar sana. Demi gaya hidup mereka bilang.